
Kepala Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof.Ir Juni Sumarmono M.Sc.,Ph.D. (foto: Humas Unsoed)
Astomanis.com-Kepala Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof.Ir Juni Sumarmono M.Sc.,Ph.D menyampaikan, kesenjangan akses pendidikan tinggi tetap menjadi tantangan besar.
Perbedaan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara kelompok ekonomi kuat dan lemah, serta antara Pulau Jawa dan luar Jawa masih signifikan.
Diperlukan strategi yang lebih inklusif, seperti perluasan beasiswa yang tepat sasaran, pembangunan infrastruktur di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), serta pemanfaatan teknologi untuk menjangkau masyarakat yang sulit mengakses pendidikan tinggi secara konvensional.
Pendidikan tinggi adalah hak seluruh warga negara, bukan hak istimewa kelompok tertentu.
“Semua institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), memiliki tanggung jawab untuk memperluas kesempatan generasi muda mengenyam pendidikan tinggi.
Unsoed telah membuka akses luas dengan menerima lebih dari 10.000 mahasiswa baru setiap tahun melalui 99 program studi, 56,8 persen di antaranya telah terakreditasi Unggul atau A,” kata Prof Juni dalam refleksi Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025.
“Semua institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), memiliki tanggung jawab untuk memperluas kesempatan generasi muda mengenyam pendidikan tinggi. Unsoed telah membuka akses luas dengan menerima lebih dari 10.000 mahasiswa baru setiap tahun melalui 99 program studi, 56,8 persen di antaranya telah terakreditasi Unggul atau A,” kata Prof Juni.
Meski ada kesenjangan yang masih tinggi, ia menyebut, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan, meski masih jauh dari memadai.
Pada tahun 2024, APK baru mencapai 31,45 persen, sementara target untuk tahun 2045 sebesar 60 persen. Angka ini masih tertinggal dibandingkan dengan banyak negara OECD dan ASEAN.
Prof Juni menerangkan peningkatan APK harus berjalan beriringan dengan peningkatan mutu. Mutu mencakup kualitas pengajaran, relevansi kurikulum dengan kebutuhan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan, kualitas penelitian dan inovasi, serta tata kelola perguruan tinggi yang akuntabel dan transparan.
“Berbagai tantangan masih harus diatasi, mulai dari kurikulum yang kurang adaptif terhadap perubahan zaman, metode pembelajaran yang belum inovatif, kurangnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri, hingga minimnya publikasi ilmiah bereputasi dan hilirisasi hasil penelitian. Kasus pelanggaran etika akademik oleh mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan juga menjadi perhatian,” ujarnya.
Salah satu langkah penting menjawab tantangan itu adalah penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang mendorong budaya mutu melalui proses peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Namun, implementasi SPMI sering kali hanya bersifat administratif untuk keperluan akreditasi, tanpa perubahan pola pikir (mindset) dan praktik nyata.
Untuk memperbaiki mutu pendidikan tinggi, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Revitalisasi kurikulum harus diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi (4C) di kalangan mahasiswa.
Upaya peningkatan kompetensi dosen juga harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Di sisi lain, sinergi antara perguruan tinggi dan dunia industri perlu diperkuat melalui program magang, kolaborasi riset, keterlibatan praktisi dalam pengajaran, serta pemutakhiran kurikulum.
Mutu penelitian juga harus ditingkatkan dengan penyediaan fasilitas yang memadai dan dukungan pendanaan yang berkelanjutan. Tidak kalah penting, penguatan tata kelola perguruan tinggi harus berbasis prinsip good governance, akuntabilitas, dan transparansi.(*)